Beranda | Artikel
Sebagian Di Antara Prinsip Dakwah Ahlus-Sunnah
Minggu, 15 September 2019

SEBAGIAN DI ANTARA PRINSIP DAKWAH AHLUS SUNNAH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

AHLUS SUNNAH MENGAJAK MANUSIA MENTAUHIDKAN ALLAH DAN MENJAUHI PERBUATAN SYIRIK.
Para da’i harus memulai dakwahnya dengan mengajak kepada tauhid, karena itu merupakan dakwah yang paling utama dan paling mulia. Dakwah tauhid, berarti mengajak kepada derajat keimanan yang paling tinggi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.

Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah perkataan “Laa ilaaha illallaah”, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan; dan malu adalah salah satu cabang iman.[1]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan, bahwasanya cabang-cabang keimanan lainnya tidak akan sah dan tidak diterima, kecuali setelah sahnya cabang yang paling utama ini (tauhid)”.

Berdasarkan apa yang disebutkan di atas, maka semua gerakan dakwah yang berdiri tegak di atas dakwaan dan simbol ishlah (perbaikan), namun tidak memfokuskan perhatian dan tidak bertolak dari upaya perbaikan tauhid, tentunya akan terjadi penyelewengan dan penyimpangan seiring dengan jauhnya dari pokok yang sangat penting ini. Sebagaimana perbuatan orang-orang itu telah menghabiskan usia mereka dalam memperbaiki mu’amalah antara manusia, namun mu’amalah mereka terhadap al Khaliq (Allah) atau ‘aqidah mereka terhadap-Nya menyimpang jauh dari petunjuk Salafush-Shalih. Sama halnya dengan mereka yang telah menghabiskan umurnya dalam upaya menempati dan menduduki sistem pemerintahan, dengan harapan akan mampu mengadakan perbaikan pada manusia melalui jalur tersebut, atau dengan mengerjakan berbagai kegiatan politik untuk mengejar dan meraih kekuasaan, namun demikian, mereka tidak menaruh perhatian untuk memperbaiki kerusakan ‘aqidah mereka dan kerusakan ‘aqidah orang-orang yang menjadi objek dakwah mereka.

Peran ‘aqidah dalam kehidupan amat penting, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menekankan kepada para da’i, agar senantiasa mencurahkan perhatian kepada ‘aqidah dan mengawali dakwahnya dengan ‘aqidah seperti yang tercantum dalam hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu.

Ada sebagian orang merasa heran dan aneh dengan diprioritaskannya dakwah kepada tauhid. Keherana tersebut kami jawab: “Bukankah hak Allah berupa pengesaan di dalam beribadah merupakan sesuatu yang paling berhak mendapatkan perhatian dan paling berhak untuk sering diucapkan oleh lisan manusia? Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang murni, maka bagaimana mungkin dianggap sebagai masalah kecil dan remeh oleh para pelopor gerakan-gerakan dan manhaj-manhaj dakwah pada zaman ini? Bukankah tauhid inilah yang paling utama untuk dibukakan baginya pintu-pintu dan dilapangkan baginya tempat-tempat dan kesempatan?”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan: “Tauhid adalah kunci pembuka dakwah para rasul,” kemudian beliau rahimahullah menyebutkan tentang hadits Mu’adz yang telah disebut sebelumnya.[2]

Walaupun kondisi dan problematika ummat berbeda-beda, namun yang tetap menjadi prioritas dalam dakwah ialah mengajak kepada tauhid. Sama saja halnya, apakah problem mereka di bidang perekonomian sebagaimana yang dihadapi oleh kaum Madyan, ataupun problem demoralisasi (kebobrokan moral) seperti yang terjadi pada kaum Nabi Luth Alaihissallam. Penulis tidak perlu menyebutkan: “Atau problem yang dihadapi mereka adalah krisis politik,” karena semua ummat dan bangsa yang tersebut pada ayat-ayat di atas, belum diberlakukan pada mereka hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Cahaya dakwah tauhid yang diberkahi ini, sekali-kali tidak boleh padam sesaat pun, hanya dengan dalih demi kestabilan dan kemantapan tauhid pada hati manusia.

Meskipun kesadaran dan sambutan ummat terhadap tauhid telah mencapai kesempurnaan, namun demikian, pasti terdapat kekurangan pada diri manusia. Kekurangan yang paling jelek ialah kekurangan dalam keikhlasan dan lenyapnya keyakinan tauhid. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tinggal diam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menyebut kejelekan perbuatan syirik, hingga pada hari-hari terakhir kehidupan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia ini. Padahal kondisi ummat pada saat itu telah mencapai puncak kekuatannya dalam bertauhid kepada Rabb-nya, dan mereka berada pada satu barisan.[3]

AHLUS-SUNNAH MENGAJAK UMMAT ISLAM UNTUK BERPEGANG TEGUH KEPADA SUNNAH-SUNNAH NABI, MENGAMALKAN DAN MENGHIDUPKANNYA, SERTA MELARANG DARI PERBUATAN BID’AH, KARENA SETIAP BID’AH ADALAH SESAT, DAN SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA.
Al ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu berkata:

صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَناَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْناَ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberi kami nasihat dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar. Maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah. Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat,’ maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku, (ia) akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang-teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat’.”[4]

AHLUS-SUNNAH MENYURUH KEPADA YANG MA’RUF DAN MENCEGAH YANG MUNKAR MENURUT KETENTUAN SYARI’AT
Definisi ma’ruf, menurut penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ialah suatu nama yang mencakup apa-apa yang dicintai Allah dari perkara iman dan amal shalih. Adapun munkar yaitu, suatu nama yang mencakup bagi setiap apa-apa yang tidak disukai Allah dan yang dilarang-Nya.[5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. [Ali ‘Imran/3:110]

 وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung. [Ali ‘Imran/3:104].[6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْماَنِ.

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka lakukanlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.[7]

Hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah,[8] dan pelakunya harus memenuhi ketentuan berikut ini:

  • Berilmu

Firman-Nya:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Ini jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf/12:108]

  • Lemah-lembut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ.

Sesungguhnya adanya kelemah-lembutan pada sesuatu, pasti akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (kelemah-lembutan), melainkan akan mencemarkan sesuatu itu.[9]

Dakwah Salaf terkenal dengan dakwah yang lemah-lembut, bukan keras dan kasar. Mereka adalah orang yang mengetahui tentang kebenaran dan sayang kepada makhluk. Mereka tegas dan berani dalam menyampaikan kebenaran. Terkadang, karena sikap tegas dalam kebenaran inilah yang menyebabkan dakwah Salaf dituduh sebagai dakwah yang keras, kaku, kasar, dan lainnya. Padahal, dengan ketegasan dalam kebenaran, banyak ummat yang menjadi faham tentang Islam, mendapat hidayah dari Allah. Dasar dakwah ini adalah lemah-lembut dan kasih-sayang sesama kaum Mukminin dan keras kepada orang-orang kafir.

  • Sabar

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. [Luqman/31:17].

وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا

Sabarlah kamu dari apa-apa yang mereka katakan, dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. [al Muzammil/73:10].

  • Ada kemampuan dan kekuasaan[10]
  • Harus ikhlas semata-mata karena Allah.

Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah amal yang wajib, paling utama, dan paling baik.[11]

AHLUS-SUNNAH MENGAJAK KEPADA PERSATUAN KAUM MUSLIMIN
Seringkali orang-orang yang tidak senang kepada persatuan ini mengatakan, dakwah Salaf membuat ummat terpecah-belah, saling bermusuhan, dan tuduhan-tuduhan lainnya. Tuduhan mereka tidak benar, tetapi justru merekalah yang membuat perpecahan. Karena dakwah Ahlus-Sunnah mengajak kepada persatuan kaum Muslimin dan melarang berpecah-belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” [Ali ‘Imran/3:103].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali ‘Imran/3:105].

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ  مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [ar-Ruum/30:31-32].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ.

Berjama’ah adalah rahmat, sedangkan berpecah-belah adalah adzab.[12]

Demikianlah, bahwasanya Ahlus-Sunnah tidak menyeru kepada perkara-perkara yang dapat memecah-belah persatuan kaum Muslimin. Akan tetapi, Ahlus-Sunnah mengajak kepada persatuan yang dilandasi dengan al Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih, bukan persatuan yang semu dan sesat. Adapun persatuan yang dikehendaki tersebut, yaitu persatuan menurut pemahaman ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj (pedoman) mereka, bukan menurut pemahaman pengikut hawa nafsu dan hizbiyyah.

Lafazh hizb, ditinjau dari aspek bahasa, memiliki beberapa makna. Al Fairuz Abadi dalam Bashaa-iru Dzawit-Tamyiizi (II/457) mengatakan, al hizb adalah kelompok (golongan). Al ahzaab adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu memerangi para nabi. Dan menurut al Qur`an, lafazh al hizb ini memiliki beberapa sudut pandang:

  • Bermakna beberapa golongan yang berada dalam perbedaan pandangan, syari’at, dan agama. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (ar-Ruum/30:32).
  • Bermakna tentara setan. (Mujaadilah/58:19).
  • Bermakna tentara Allah. (Mujaadilah/58:22).
  • Mereka di dunia adalah sebagai pemenang. (al Maa-idah/5:56).
  • Akibat (balasan) bagi mereka adalah sebagai pemenang yang beruntung.

Syaikh Shafiyur-Rahman al Mubarakfuriy berkata,”Al hizb, secara bahasa adalah, golongan (kumpulan) dari manusia; berkumpulnya manusia karena adanya sifat yang bersekutu atau kemashlahatan yang menyeluruh. Mereka terikat oleh ikatan ‘aqidah dan iman, atau ikatan kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, atau terikat karena (adanya perasaan) kebangsaan dan setanah air, atau (ikatan) nasab (keturunan), pekerjaan, bahasa, atau apa-apa yang serupa dengan ikatan-ikatan tersebut, kriteria, kemaslahatannya yang secara adat manusia berkumpul di atasnya dan bersatu karena sifat-sifat tersebut.”

Bagi orang yang berakal, merupakan sesuatu yang sangat jelas, bahwa setiap hizb mempunyai prinsip-prinsip, pemikiran, sandaran yang sifatnya intern dan teori-teori yang menjadi patokan, sebagai undang-undang bagi kelompok hizb tersebut, meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai undang-undang. Kedudukan undang-undang tersebut sebagai asas yang menjadi dasar berpijaknya sistem pengorganisasian hizb, dan hizb sengaja dibangun berdasarkan undang-undang tersebut.

Barangsiapa yang percaya dan meyakininya dengan sungguh-sungguh, maka pada akhirnya dia akan mengakuinya, mengambilnya sebagai asas pergerakan dan amal jama’i yang tersusun rapi dalam hizb tersebut. Sehingga ia menjadi anggotanya atau pendukung setianya. Yang tidak setuju (menolak), maka ia tidak termasuk anggota hizb. Maka, undang-undang itu asasnya wala’ (kesetiaan/loyalitas) dan bara’ (permusuhan) persatuan dan perpecahan, kepedulian dan ketidakpedulian.

Berdasarkan uraian tersebut, maka sesungguhnya di dunia ini hanya ada dua hizb. Yaitu hizb Allah dan hizb setan, yang menang dan yang kalah, yang muslim dan yang kafir.

Orang yang memasukkan hizb Allah ke dalam hizb (kelompok, pergerakan, jama’ah-jama’ah) yang lain, maka berarti dia telah merobek-robek hizb Allah, memecah-belah kalimat Allah. Sehingga seorang muslim harus meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk hizbiyyah yang sempit dan terkutuk, karena telah melemahkan hizb Allah; dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok, (golongan, jama’ah) supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allah.[13]

Ahlus-Sunnah Mengajak Kaum Muslimin Kepada Persatuan di Atas Sunnah
Jika kaum Muslimin bersatu di atas Sunnah, mereka akan mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala , kebaikan dan kekuatan. Sebaliknya, jika mereka berselisih, maka yang akan terjadi adalah kelemahan, kekalahan dan kehancuran. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [al Anfaal/8:46].

Namun wajib diketahui, bahwa persatuan tersebut haruslah dibangun berdasarkan ittiba’ (ketaatan) kepada as-Sunnah, bukan dengan bid’ah. Kebanyakan firqah-firqah yang mencela adanya perpecahan dan mengajak kepada persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah golongan yang menyelesihi mereka, meskipun golongan yang dicelanya tersebut berada di atas kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan, yaitu kembali kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj mereka telah menyimpang dari jalan ash-Shirathal-Mustaqiim (jalan yang lurus). Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan, hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafush-Shalih.[14]

Ahlus-Sunnah menyuruh kepada persatuan ummat Islam atas dasar Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan. Ahlus Sunnah juga menyuruh ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi musuh. Adapun kelompok-kelompok bawah tanah, jama’ah-jama’ah sempalan dan bai’at-bai’at yang dikenal sebagai bai’at dakwah, merupakan penyebab timbulnya perpecahaan dan fitnah (pertikaian). Bai’at itu hanya boleh diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh ahlul halli wal ‘aqdi (semacam lembaga yudikatif), atau kepada seorang muslim yang berkuasa dengan kekuatannya, meskipun ia seorang yang zhalim.

Ahlus-Sunnah berpendapat tentang hadits:

…مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.

(Barangsiapa mati, sedangkan ia belum berbai’at, maka kematiannya terhitung kematian secara Jahiliyyah).[15]

Sanksi yang tersebut dalam hadits di atas ditujukan kepada orang yang tidak membai’at penguasa yang telah ditunjuk dan disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi.[16] Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Ibrahim bin Hani tentang hadits di atas, beliau (Imam Ahmad) menjawab: “Yang dimaksud dengan Imam adalah, yang kaum Muslimin –seluruhnya- berkumpul untuk membai’atnya. Itulah Imam, dan demikianlah makna hadits ini.” Sehingga, tidak sebagaimana yang diklaim oleh setiap jama’ah atau kelompok.[17]

Al Katsiri di dalam kitabnya, Fa-idhul Baari berkata: “Ketahuilah bahwa hadits tersebut menunjukkan, bahwa bai’at yang dianggap sah adalah, bai’at yang dilakukan oleh seluruh kaum Muslimin. Kalau seandainya ada dua orang atau tiga orang yang membai’at, maka hal itu tidak dikatakan (sebagai) Imam sampai (ia) dibai’at oleh kaum Muslimin atau ahlul halli wal ‘aqdi”.[18]

Jadi, tentang orang yang meninggalkan bai’at diancam dengan mati Jahiliyyah, itu berlaku bagi orang yang tidak berbai’at kepada Imam, yang padanya telah berkumpul seluruh kaum Muslimin atau yang diwakilkan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Adapun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok (jama’ah-jama’ah) -yang ada sekarang ini- adalah bai’at bid’ah yang harus ditinggalkan. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhu, yaitu ketika tidak adanya jama’ah dan imam, maka ia harus meninggalkan semua jama’ah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

…تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ، فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ.

“… Hendaklah engkau berpegang teguh (bersatu) kepada jama‘ah dan imam kaum Muslimin,” kemudian Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya: “Bagaimana kalau mereka sudah tidak mempunyai jama’ah dan imam lagi?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus menggigit akar pohon, hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu”.[19]

AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH MENGAJAK MANUSIA KEPADA AKHLAK YANG MULIA DAN AMAL-AMAL YANG BAIK,[20] SERTA MELARANG BERAKHLAK BURUK[21]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja dan memperbaiki akhlak manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[22]

Sesungguhnya, antara akhlak dengan ‘aqidah terdapat hubungan yang sangat kuat. Karena akhlak yang baik sebagai bukti dari keimanan, sedangkan akhlak yang buruk sebagai bukti lemahnya iman. Semakin sempurna akhlak seorang muslim, berarti semakin kuat imannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.

Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka. Dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya.[23]

Akhlak yang baik merupakan bagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan. Pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan akhlak yang baik menjadi salah satu penyebab seseorang dapat masuk ke dalam Surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ.

Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat, melainkan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya, Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji dan kotor.[24]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقاً…

Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat majelisnya denganku pada hari Kiamat, ialah yang paling baik akhlaknya[25]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk surga, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ، وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ فَقَالَ: اَلْفَمُ وَالْفَرْجُ.

“Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk neraka, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Lidah dan kemaluan”.[26]

Ahlus-Sunnah juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, menganjurkan bersilaturrahim, serta berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil.[27] Mereka (Ahlus Sunnah) melarang dari berbuat sombong, angkuh, dan zhalim.[28] Mereka memerintahkan untuk berakhlak mulia dan melarang dari akhlak yang hina. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ وَمَعَالِيَ اْلأَخْلاَقِ وَيُبْغِضُ سِفْسَافَهَا.

Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, menyukai kedermawanan dan akhlak yang mulia, serta membenci akhlak yang rendah (hina).[29]

Sungguh akhlak mulia itu meninggikan derajat seseorang di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ.

Sesungguhnya seorang Mukmin dengan akhlaknya yang baik, akan mencapai derajat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan shalat di tengah malam.[30]

Akhlak yang mulia dapat menambah umur dan menjadikan rumah makmur, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

…وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ وَيَزِيْدَانِ فِي اْلأَعْمَارِ.

… Akhlak yang baik dan bertetangga yang baik, keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur.[31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar mempunyai akhlak yang agung. [al Qalam/68:4].

Hal ini sesuai dengan penuturan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقاً.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya.[32]

Begitu pula para sahabat Radhiyallahu anhum, mereka adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara akhlak Salafush-Shalih, yaitu:

  • Ikhlas dalam ilmu dan amal serta takut berbuat riya’.
  • Jujur dalam segala hal dan menjauhkan dari sifat dusta.
  • Bersungguh-sungguh dalam menunaikan amanah dan tidak khianat.
  • Menjunjung tinggi hak-hak Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Berusaha meninggalkan segala bentuk kemunafikan.
  • Lembut hatinya, banyak mengingat mati dan akhirat, serta takut terhadap akhir kehidupan yang jelek (su’ul khatimah).
  • Banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan tidak berbicara yang sia-sia.
  • Tawaadhu’ (rendah hati) dan tidak sombong.
  • Banyak bertaubat, beristighfar (mohon ampun) kepada Allah, baik siang maupun malam.
  • Bersungguh-sungguh dalam bertakwa dan tidak mengaku-ngaku sebagai orang yang bertakwa, serta senantiasa takut kepada Allah.
  • Sibuk dengan aib diri sendiri dan tidak sibuk dengan aib orang lain, serta selalu menutupi aib orang lain.
  • Senantiasa menjaga lisan mereka, tidak suka ghibah (tidak menggunjing sesama Muslim).[33]

Malu adalah akhlak Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقاً وَخُلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ.

Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.[34]

Begitu juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْرٍ.

Malu itu tidak mendatangkan sesuatu, melainkan kebaikan semata[35]

  • Banyak memaafkan dan sabar kepada orang yang menyakitinya.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf/7: 199]

  • Banyak bershadaqah, dermawan, menolong orang-orang yang susah, tidak bakhil/tidak pelit.
  • Mendamaikan orang yang mempunyai sengketa.
  • Tidak hasad (dengki, iri), tidak berburuk sangka sesama Mukmin.
  • Berani dalam mengatakan kebenaran dan menyukainya.[36]

Demikianlah di antara akhlak Salafush-Shalih. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akhlak yang tinggi dan mulia serta dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang mengikuti jejak mereka, sudah seharusnya juga mempunyai akhlak mulia, karena akhlak sangat erat hubungannya dengan ‘aqidah dan manhaj.

Semoga kita selalu diberi taufiq oleh Allah Azza wa Jalla dan diberi kekuatan untuk dapat meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum. Dan bagi seseorang, tidak dibolehkan mengatakan “Salaf itu tidak berakhlak,” karena kalimat ini merupakan celaan terhadap generasi yang terbaik dari ummat ini. Adapun kesalahan individu dalam masalah akhlak, maka sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang ma’shum, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR al Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35. Lafazh ini milik Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[2] Lihat Madaarijus Saalikiin (III/462), Cet. Daarul Hadits.
[3] Disadur secara ringkas dari Sittu Durar min Ushuul Ahlil Atsar, ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, Cet. Maktabah al ‘Umarain al ‘Ilmiyyah, Th. 1420 H, hlm. 16-20, 22, 23;  at-Tauhiid Awwalan yaa Du’aatal-Islam, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albaniy, Cet. II, Th. 1422 H, Maktabah al Ma’arif; al ‘Aqiidah Awwalan lau Kaanu Ya’lamuun, oleh Dr. ‘Abdul Aziz al Qaari’, Cet. II, Th. 1406 H; Manhajul-Anbiyaa’ fid-Da’wah ilallaah fiihil-Hikmah wal ‘Aql, oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al Madkhali.
[4] HR Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud no. 4607 dan at-Tirmidzi no. 2676, ad-Darimy (I/44), al Baghawiy dalam kitabnya Syarhus-Sunnah (I/205), al Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Syaikh al Albani juga menshahihkan hadits ini dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 2455.
[5] Lihat Iqtidhaa’ush-Shiraatil-Mustaqiim, hlm. 106, ta’liq Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al ‘Aql, Cet. VI, Th. 1419 H, Daarul-‘Ashimah.
[6] Lihat juga dalam  at-Taubah ayat 71 dan al A‘raaf ayat 157.
[7] HR Muslim no. 49 (78), Ahmad (III/10), Abu Dawud no. 1140, 4340, at-Tirmidzi no. 2172), an-Nasaa-i (VIII/111-112) dan Ibnu Majah no. 4013, dari Sahabat Abu Sa’id al Khudriy Radhiyallahu anhu.
[8] Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/134) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[9] HR Muslim no. 2594 (78), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anuhma .
[10] Lihat adh-Dhawaabitul-Amr bil-Ma’ruf wan-Nahyi ‘anil-Munkar ‘inda Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah, oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al Halabi, Cet. I, Th. 1414 H, hlm. 35.
[11] Lihat Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/134) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[12] HR Ahmad (IV/278) dan Ibnu Abi ‘Ashim no. 93, dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 667.
[13] Lihat ad-Da’wah Ilallaah Bainat-Tajammu’ al Hizbi wat-Ta’aawun asy-Syar’i, Syaikh ‘Ali Hasan al Halabi al Atsari, hlm. 53-55.

[14] Lihat  an-Nisaa` ayat 59.
[15] HR Muslim no. 1851, dan al Baihaqiy (VIII/156) dari Sahabat Ibnu ‘Umar.
[16] Lihat Silsilatul-Ahaadiits ash-Shahiihah, no. 984.
[17] As-Siraajul-Wahhaaj fii Bayaanil-Minhaaj, no. 181, oleh Abul Hasan Mushthafa bin Isma’il as-Sulaimani al Mishri, Cet. I, Th. 1420 H, Maktabah al Furqan.
[18] Fa-idhul Baari (IV/59), dikutip dari Nashiihah Dzahabiyyah ilal-Jamaa’aatilIslaamiyyah, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ta’liq dan takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman, Cet. I, Th. 1410 H, Daar ar-Raayah, hlm. 10.
[19] HR al-Bukhari no. 7084 dalam Kitaabul-Fitan, Bab Kaifal-Amr Idzaa Lam Takun Jamaa’ah (Bagaimana Urusan Kaum Muslimin Apabila Tidak Ada Jama’ah); Muslim no. 1847 dalam Kitaabul- Imaarah, Bab Wujuub Mulaazamah Jamaa’atil-Muslimiin ‘inda Zhuhuuril-Fitan wa fi Kulli Haal wa Tahriimil-Khuruuj ‘alath-Thaa’ati wa Mufaaraqatil-Jamaa’ah [Keharusan Mengikuti Jama’ah Kaum Muslimin Ketika Terjadi Fitnah Dalam Segala Kondisi, dan Diharamkannya Membangkang (Tidak Taat Kepada Ulil-‘Amri) dan Meninggalkan Jama’ah].
[20] Lihat al Baqarah ayat 83, al Isra’ ayat 53, an-Nuur ayat 27, 28, 58, dan yang lainnya.
[21] Lihat di antaranya dalam QS  an-Nisaa’ ayat 31, al Hujurat ayat 11.
[22] HR al Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad no. 273 (Shahiihul-Adabil-Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al Hakim (II/613), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Dishahihkan oleh Syaikh al Albaniy dalam Silsilatul- Ahaadiits ash-Shahiihah no. 45.
[23] HR at-Tirmidzi no. 1162, Ahmad (II/250, 472), Ibnu Hibban (at-Ta’liqaatul-Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban no. 4164). Lafazh awalnya diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no. 4682, al Hakim (I/3), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih.”
[24] HR at-Tirmidzi no. 2002 dan Ibnu Hibban (no. 1920, al-Mawaarid), dari Sahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi berkata,”Hadits ini hasan shahih.” Lafazh ini milik at-Tirmidzi, lihat Silsilatul-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 876.
[25] HR at-Tirmidzi no. 2018, ia berkata: “Hadits hasan”. Hadits ini dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu . Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat). Lihat Silsilatul-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 791.
[26] HR at-Tirmidzi no. 2004, al Bukhari dalam al Adabul-Mufrad no. 289, Sha-hiihul-Adabil-Mufrad no. 222, Ibnu Majah no. 4246, Ahmad (II/291, 392, 442), Ibnu Hibban no. 476, at-Ta’liiqaatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban, al-Hakim (IV/324). At-Tirmidzi  berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[27] Lihat  an-Nisaa’ ayat 36.
[28] Lihat al Israa` ayat 37, al A’raaf ayat 36, 40, al Anfaal ayat 47, Luqman ayat 18, dan lainnya.
[29] HR al Hakim (I/48), dari Sahabat Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu . Dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Silsilatul-Ahaadiits ash-Sha-hiihah no. 1378.
[30] HR Abu Dawud no. 4798, Ibnu Hibban no. 1927 dan al-Hakim (I/60), dari Aisyah Radhiyallahu anhuma . Dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi.
[31] HR Ahmad (VI/159), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma .
[32] HR al Bukhari no. 6203 dan Muslim no. 2150, 2310, dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[33] Malu adalah akhlak mulia, yang tumbuh untuk meninggalkan perkara-perkara jelek, sehingga akan menghalanginya dari perbuatan dosa dan maksiat, serta terhindar dari melalaikan kewajiban memenuhi hak orang-orang yang mempunyai hak. Lihat al Hayaa’ fii Dhau-il-Qur`aan al Kariim wal-Ahaadiits ash-Shahiihah, oleh Syaikh Salim bin ‘Id al Hilaliy, Cet. Th. 1408 H, Maktabah Ibnul Jauzi.
[34] HR Ibnu Majah no. 4181, Shahiih Ibni Majah (II/406 no. 3370), ath-Thabrani dalam Mu’jamush- Shaghir (I/13-14, Cet. Daarul Fikr), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 940.
[35] HR al Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37 (60), dari Sahabat ‘Imran bin Husain Radhiyallahu anhu .
[36] Diringkas dan disadur dari al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis-Salafish-Shaalih (hlm. 200-206) dan Min Akhlaaqis-Salaf  oleh Ahmad Farid, Cet. Th. 1412 H, Daarul-‘Aqiidah lit-Turaats.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/12863-sebagian-di-antara-prinsip-dakwah-ahlus-sunnah-2.html